🇸🇪🇷🇮 🇫🇮🇶🇮🇭
BEKAL-BEKAL DI DALAM MENYAMBUT IDUL ADHA
(Bagian 4 / 9)
SHOLAT ‘IDUL ADHA
Hukumnya
Menurut pendapat yang rajih (kuat) dan terpilih, sholat ‘idul adha adalah wajib hukumnya, baik bagi laki-laki maupun wanita. Dalilnya adalah hadits Ummu ‘Athiyah radhiallahu’anha, beliau berkata :
أمران أن خنرج العواتق وذوات اخلدور
“Kami diperintahkan untuk mengeluarkan para gadis dan wanita yang sedang dalam pingitan (untuk shalat ‘id).”
📗 [Al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah, hal. 150 dan Ahkamul ‘idain fi Sunnatil Muthohharoh].
Sebagian lagi berpendapat hukumnya fardhu kifayah, sebagaimana pendapat Syaikh Shalih as-Sadlan dalam Risalatu fi Fiqhil Muyassar hal. 48
Waktunya
Waktu sholat ‘id adalah semenjak matahari naik setinggi tombak hingga tergelincir ke arah barat. Namun yang sunnah adalah melakukannya di awal waktu, agar kaum muslimin bisa segera menyembelih hewan kurban mereka.
📗 [Minhajul Muslim, hal. 183, Risalatu fi Fiqhil Muyassar hal. 48, ad-Darori al-Mudhiyah hal. 106-109].
Shalat di Mushala (Lapangan)
Sholât ‘id adalah di tanah lapang, bukan di Masjid. Hal ini datang dari banyak hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, , di antaranya :
« عن أبي سعيد الخدري قال خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم في أضحى أو فطر إلى المصلى »
Dari Abi Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu beliau berkata : “Rasulullah _lShallallahu ‘alaihi wa Sallam, keluar pada hari Adha atau Fithri ke musholla (tanah lapang)…”
(HR. al-Bukhari)
Kecuali apabila dalam keadaan darurat semisal hujan, maka boleh dilakukan di dalam Masjid.
Sifat Shalat ‘Id
Shalat ‘id terdiri dari dua rakaat dengan 11 takbir, yaitu 7 takbir pada rakaat pertama dan 5 takbir pada rakaat kedua. Shalat ‘id adalah shalat jama’ah yang dilakukan di tanah lapang tanpa ada adzan dan iqamah. Imam disunnahkan membaca surat al-A’la pada rakaat pertama dan al-Ghasyiyah pada rakaat kedua, atau surat Qaf dan Waqtarobat.
📗 (Lihat al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah, hal. 151-152)
Setelah shalat, imam atau khatib naik ke atas mimbar berkhutbah. Sifat khuthbah ‘id yang rajih adalah tanpa diselingi duduk ringan sebagai pemisah dua khuthbah seperti khuthbah jum’at. Ini adalah pendapat yang terpilih. Namun, syaikh Shalih bin Ghanim as-Sadlan merajihkan sifat khutbah ‘id sama dengan khuthbah jum’at.
📗 [Lihat Risalatu fi Fiqhil Muyassar hal. 49], demikian pula dengan Syaikh Abu Bakr al-Jaza`iri [Lihat Minhajul Muslim, hal. 172-173].
Takbir ‘Idul adha
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
( وَا ذْكُرُوا اللّٰهَ فِيْۤ اَيَّا مٍ مَّعْدُوْدٰتٍ ۗ )
“Dan berdzikirlah menyebut nama Allôh dalam beberapa hari yang telah ditentukan.”
(QS. al-Baqarah : 203)
Waktunya semenjak dari shubuh hari ‘Arafah (9 Dzulhijjah) hingga ashar hari tasyriq terakhir (13 Dzulhijjah) berdasarkan hadits shahih dari ‘Ali, Ibnu ‘Abbas dan Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhum.
📗 [lihat al-Wajiz fi Fiqhis Sunnah,
hal. 153-154].
Takbir dilakukan dengan keras terutama di jalanan menuju ke tanah lapang (mushalla), dilakukan setiap selesai melakukan shalat dan setiap waktu kapan saja semenjak hari ‘Arafah hingga akhir hari tasyriq.
📗 [lihat Majmu’ al-Fatawa 24/220, Subulus Salam II/71-71 dan Ahkamul ‘Idain].
Adapun shighat (lafal) takbir yang shahih datang dalam beberapa riwayat, dibantaranya adalah lafal yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud radhiallâhu‘anhu :
« الله أكبر الله أكبر لا إله إلا الله والله أكبر الله أكبر والله الحمد »
“Allah Maha Besar – Allah Maha Besar – Tiada Ilah yang haq untuk disembah kecuali Allah – Dan Allah Maha Besar – Allah Maha Besar – dan hanya milik Allah-lah segala pujian.”
[HR. Ibnu Abi Syaibah II/17 secara shahih mauquf]
Di antaranya pula adalah lafal dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhu :
« الله أكبر الله أكبر الله أكبر والله الحمد الله أكبر وأجل الله أكبر على ما هدانا »
“Allah Maha Besar – Allah Maha Besar – Allah Maha Besar – hanya milik Allah-lah segala pujian – Allah Maha Besar dan Maha Agung – Allah Maha Besar atas petunjuk-Nya kepada kita.”
[HR. al-Baihaqi, II/315].
Adapun lafal takbir yang sering dibaca di negeri kita, yaitu :
اَللَّهُ اَكْبَرْ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَاَصِيْلاً ـ لآ اِلَهَ اِلاَّ اللَّهُ وَلاَنَعْبُدُ اَلاَّ اِيَّاهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَلَوْكَرِهَ الْكَافِرُوْنَ لآاِلَهَ اِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ صَدَقَ وَعْـدَهُ وَنَصَرَعَبِدَهُ وَاَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ لآ اِلَهَ اِلاَّ اللَّهُ اَللَّهُ اَكْبَرْ اَللَّهُ اَكْبَرْ وَلِلَهِ الْحَمْدُ
Maka sesungguhnya lafal ini tidak pernah ditemukan di dalam satupun hadits baik yang marfu’ maupun yang maudhu’ (palsu). Oleh karena itu, tidak sepatutnya kita mengada-adakan sesuatu yang tidak ada tuntunannya.
- Bersambung, In syaa Allah –
📝Ditulis oleh @abinyasalma
ℳـ₰✍
✿❁࿐❁✿
@alwasathiyah
__
👥 Al-Wasathiyah Wal-I’tidāl
✉ TG : https://t.me/alwasathiyah
🌐 Blog : alwasathiyah.com
🇫 FB : fb.com/wasathiyah
📹 Youtube : http://bit.ly/abusalmatube
📷 IG : instagram.com/alwasathiyah
🔊 Mixlr : mixlr.com/abusalmamuhammad
📎 Sumber :
Book : Bekal-bekal di Dalam Menyambut Idul Adha
🔗 Silahkan disebarluaskan untuk menambah manfaat, dengan tetap menyertakan sumber.