Question Answer
BOLEHKAH MENJADI PERANTARA YANG BUKAN MAHRAM❓
PERTANYAAN
Assalamualaikum warohmatullah wabarakatuh..
Ustad, kemaren saya dikenalkan dengan seorang ikhwan salafi oleh teman akhwat ana.
Ikhwan tersebut siap menikah.
Lalu ana mencari informasi mengenai ikhwan tersebut lwt teman ana yg mengenalkan tadi.
Hasilnya bahwa ikhwan tersebut serius dengan ana.
Sudah mau kerumah kenal sama ana dan orang tua ana, tapi ayah ana belum pulang.
Jadi ana menunggu ayah ana pulang .
dan ana juga sudah menguji pengetahuan dia mengenai manhaj.
Alhamdulilah dia salafi.
dan yang membuat ana bingung masalah pekerjan nya adalah petani.
karna ada sebagian akhwat enggan kayak begitu .??
dan juga salahkah perantara akhwat yang bukan mahrom di antara kami.??
syukron
➖➖➖➖➖➖➖
JAWABAN
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarokatuh.
▪ Point Pertama
Ketika seseorang berusaha untuk mencari pasangannya kemudian dia berusaha untuk mencari info selengkap-lengkapnya tentang si ikhwan tersebut baik soal perangainya, akhlaknya, bahkan termasuk fisiknya dan pekerjaannya maka ini adalah termasuk hal yang memang dituntut dari akhawat maupun ilhwannya.
▪Point Kedua
Memang didalam islam tidak ada yang namanya ta’aruf. Terminologi ta’aruf didalam pernikahan tidak kita jumpai didalam kitab kitab fiqih munakahat dimanapun dari kitab -kitab salaf kecuali yang khalaf (orang-orang belakangan). Karena prosesnya hanya NADZOR ( melihat ) baru lah ke KHITBAH lalu langsung AKAD NIKAH dan WALIMAH.
Tidak ada yang namanya ta’aruf disitu (proses kenalan dulu atau yang semisalnya). Tetapi tetap berusaha untuk mencari tahu atau mengenal pasangan. Metode atau cara mengenal pasangan adalah dari wanita hendaknya ada orang yang menjadi wakil dari wanita tersebut. Dalam hal ini adalah wali si wanita tersebut; entah itu bapaknya, abangnya, adik laki-lakinya atau saudara laki-lakinya. Intinya si ikhwan ini bisa mengorek informasi tentang akhawat tersebut dari walinya si wanita. Begitupun sebaliknya akhawat tersebut bisa mengorek informasi tentang si ikhwan dari walinya tersebut. Dan inilah yang benar.
Adapun mak comblang, ini wallahu ta’ala a’lam bish shawab jika tidak melanggar batasan syar’i maka ini tidak mengapa.
Misalkan ada orang lain yang mengenalkan kita yang selama tidak melanggar batasan syar’i maka tidak mengapa.
▪Point Ketiga
Disebutkan bahwasanya si si penanya sudah mengetes manhaj si ikhwan tersebut dan katanya alhamdulillah salafi. Ini diarahkan kepada wali wanita yaitu Intinya adalah jika datang kepada kalian seorang laki-laki yang kalian ridhai agamanya dan perangainya maka hendaklah diterima karena apabila ditolak kata nabi TUNGGULAH SAATNYA ; yaitu kita diancam dengan adanya fitnah nanti.
Jika memang sudah diuji / sudah di test dan diperiksa semua dari sisi agamanya ; manhajnya salafi, akhlaknya itu memang bagus. Jika sudah yakin dengannya dan laki-laki itu mengkhitbah maka hendaknya diterima. Adapun masalah pekerjaan sebagai petani dimana petani merupakan pekerjaan yang halal bukan pekerjaan yang hina, bukan pekerjaan yang jelek/ buruk. Selama dia mampu untuk memberikan nafkah bagi istrinya kelak maka ini bukanlah suatu halangan kecuali apabila memang si calon istri mempersyaratkan bahwa suaminya kelak harus seperti ini seperti itu, yang memiliki kemampuan dan kematangan dari sisi usia tapi juga kemantapan dari sisi materil. Maka ini adalah suatu hal yang sah-sah saja. Boleh saja wanita membuat persyaratan seperti ini.
Tapi ingat bahwasanya yang menjadi perkara utama adalah agamanya. Jangan sampai kita menolak orang yang agamanya bagus, akhlaknya bagus lantaran orangnya tidak sebagaimana yang kita inginkan; misalnya dia bukan seorang dokter, bukan seorang insinyur. Lalu ada laki-laki yang dia seorang dokter atau seorang insinyur tapi tidak jelas agamanya, tidak jelas aqidahnya, tidak jelas manhajnya, tidak jelas bagaimana perangainya, tidak jelas sifat-sifatnya.
Maka dalam memilih pasangan yang lebih dikedepankan adalah agamanya,akhlaknya, perangainya. Tidak masalah dia petani atau bekerja meladang ataupun peternak. Sebenarnya banyak juga para petani ataupun peternak yang memiliki harta kekayaan. Jadi hendaknya ini tidak layak untuk dijadikan suatu standar. Tapi jika merasa tidak yakin dengan si ikhwan ini dengan berbagai macam alasan maka itu semua dikembalikan kepada akhawat tersebut. Karena tidak ada paksaan dalam hal ini.
Maka carilah ketenangan dan keyakinan dengan cara istikharah yaitu meminta taufik Allah subhanahu wa ta’ala agar Allah memantapkan langkahnya apapun yang dia pilih.
Wallahu ta’ala a’lam bish shawab
🎙Dijawab oleh : Ustadz Abu Salma Muhammad Hafidzahullah
🖊Transkrip oleh : Uray Sriwahyuni
_________________________
✉Grup WhatsApp Al-Wasathiyah Wal I’tidål
♻Telegram: https://bit.ly/alwasathiyah
🌐 Blog : alwasathiyah.com
💠Facebook : http://fb.me/wasathiyah
🔰Youtube : http://bit.ly/abusalmatube
📷 Instagram : http://instagram.com/alwasathiyah
🌀Mixlr : http://mixlr.com/abusalmamuhammad/